Oleh: Abdul Rajak Babuntai *
(Alumni UNG dan bagian dari rakyat kecil Gorontalo)
Belakangan ini publik Gorontalo terutama para alumni Universitas Negeri Gorontalo (UNG) banyak memberi pujian atas 100 hari kerja rektor UNG.
Saya punya perspektif berbeda dengan kebanyakan alumni dan publik Gorontalo tersebut. Walaupun bagi saya 100 hari kerja bukan menjadi instrumen yang terlalu penting menilai kinerja rektor, tapi karena sudah di umbar ke publik, maka berarti rektor siap dan terbuka menerima kritik publik. Kalau melihat flyer yang berisi 100 hari kerja rektor UNG itu, isinya masih lebih didominasi oleh kerja-kerja rutin dan terlalu teknis. Belum ada pencapaian-pencapaian berarti bagi pengembangan Universitas. Apalagi ada beberapa prestasi yang dimasukan kedalam flyer itu yang bagi saya tidak punya hubungan dengan kerja-kerja rektor. Ambil saja contohnya, Juara sepak takraw Sea Games 2019 di Philipina yang melibatkan dua mahasiswa UNG.
Prestasi itu didapat bukan atas dasar intervensi kebijakan rektor, tapi karena bakat dan prestasi bawaan mahasiswa sejak mereka masih sekolah atau melalui pelatihan rutin dari luar universitas. Kalau rektor mencantumkan prestasi itu atas dasar kerjanya, seharusnya dia mengintervensinya dengan misalnya menyediakan fasilitas latihan yang memadai bagi pengembangan minat/bakat mahasiswa, Ini justru mengklaim prestasi dibidang olahraga, sementara fasilitas olahraga mahasiswa sudah beberapa tahun mangrak dan tidak mendapat perhatian serius.
Selain dari klaim prestasi dibidang olahrga itu, rektor juga mencantumkan MoU antara UNG dengan pemerintah Kota Gorontalo didalam flyer. Bagi saya ini penting, tapi jangan hanya habis di penandatanganan lalu menghasilkan transaksi dana hibah/dana penelitian. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana universitas dengan citranya sebagai “pusat keunggulan” mampu memberi solusi atas masalah multidimensional yang ada di Kota Gorontalo. Universitas harus memberi telaah akademis dan menghasilkan riset-riset yang dapat menyelesaikan masalah seperti panah wayer, banjir serta masalah-masalah lainnya yang melanda kota Gorontalo.
Menurut pengamatan saya, belum terlihat upaya-upaya secara konstruktif yang dilakukam oleh rektor untuk menjadikan Universitas Negeri Gorontalo unggul dan berdaya saing sebagaimana yang sering dicitrakan itu.
Sebagai lembaga pendidikan yang banyak menggunakan anggaran negara (uang rakyat), pantas kiranya rektor berbenah dengan sisa waktu yang ada dalam masa kepemimpinannya. Sebaiknya kerja-kerja rutin dan teknis itu di limpahkan ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang ada dalam organisasi dan tata kerja kampus, agar publik tidak punya spekulasi liar ke rektor UNG, “Jangan-jangan rektor sedang membangun citra dan reputasi personal “, bukan justru membangun atau menjaga reputasi universitas dengan segudang kepakaran yang dimiliknya.
Dengan jabatannya, rektor harus lebih mampu memimpin orkestrasi dalam menciptakan iklim dan produk-produk kepakaran yang lahir dari universitas.
Jangan sampai reputasi kepakaran yang dimiliki universitas malah ditenggelamkan oleh branding personal rektor.[*]
*) Alumni UNG dan bagian dari rakyat kecil Gorontalo